Anak dan Orangtua Mulai Stres di Rumah Terus, Apa yang Harus Dilakukan?

Bosan yang dirasakan anak-anak, apakah kita sebagai orangtua harus mengabaikan apa yang dirasakan anak-anak atau adik-adik kita.

Bagaimana jika kita sendiri yang merasa bosan. Bosan pada apa?

“Semula sih masih asyik. Namun kini sudah jenuh, capek ngajarin anak terus. Anak jika diajarin orangtua sekarang suka malas-malasan. Jadinya kita sendiri yang gondok,” kata Waryanti, orangtua dari Intan, siswi kelas 4 SD di Jakarta.

Waryanti mulai jenuh membantu anaknya belajar di rumah terus selama masa pandemi Covid-19 ini.

Mestinya kita sebagai orangtua jangan main hajar atau marah pada anak-anak yang mulai malas-malasan untuk belajar. Dalam masa pandemi ini – sudah enam bulan kita jalani – yang mana anak-anak dihimbau untuk belajar di rumah.

Seperti himbauan yang ditujukan kepada kepada kakak-kakaknya atau orangtua untuk “menyepi” melakukan aktivitas bekerja atau beribadah dari rumah, semua itu semata-mata untuk kebaikan kita bersama sebagai masyarakat untuk memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19.

Dulu kita masih dapat melihat anak-anak berseragam berangkat ke sekolah, atau karyawan ke kantor, orangtua ke tempat ibadah.

Seperti yang yang dikeluhkan Waryanti di atas, apakah kita juga harus menutup mata. Tidak adakah perasaan bosan, selama enam bulan lebih di rumah terus? Rasa bosan pun dapat berdampak negatif. Kita bisa jadi stres karena semua kebosanan itu!

Siapa dalam hal ini yang kudu dipersalahkan?

Belum jelas sampai kapan seorang anak harus terus bertatap muka secara daring dengan seorang guru dari rumah. Kapan bisa bertatap muka lagi secara langsung di ruang kelas fisik?

Bayangkan, anak-anak setiap hari dijejali dengan tugas menatap layar monitor dengan PR yang menumpuk. Orangtua pun idem dito. Stres!

Waryanti berharap belajar secara tatap muka bisa segera dilakukan kembali. Namun keinginan Waryanti itu harus terbentur tembok cukup kokoh, masa PSBB diterapkan oleh sang penguasa. Kasus-kasus baru masih saja belum landai, bahkan terus melonjak.

Muncul polemik, di saat pembelajaran anak harus tetap dilakukan, namun bagaimana solusinya?

Untuk itu, Khasanah, dosen Magister Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, angkat bicara. Menurutnya, pendidikan anak harus terus berlangsung, baik belajar dari rumah atau sekolah.

“Yang membedakan adalah dengan siapa mereka belajar dan tempat belajarnya,” kata Khasanah.

Khasanah mengatakan usia 15 tahun pada seorang manusia merupakan periode emas, dimana di masa ini seorang manusia memasuki periode perkembangan yang sensitif.

Mengapa disebut periode emas, Khasanah menjelaskan di usia seperti itu, seluruh aspek kecerdasan, baik kecerdasan spritual, intelektual, maupun emosi mengalami perkembangan yang luar biasa.

Menurutnya, orangtua sangat berperan dalam pembelajaran daring dan harus sabar menghadapi anak-anaknya (jika lebih dari satu).

Dikatakan periode emas, juga pada periode ini bakal memengaruhi dan menentukan perkembangan selanjutnya,

Pendidikan dalam usia seperti itu juga akan mempengaruhi pembentukan karakter seorang manusia ke depannya.

Jika orangtua menerapkan pendidikan karakter watak, moral, budi pekerti, dan nilai-nilai pada usia 14 tahun tujuannya adalah agar seorang manusia nantinya bisa memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.

Jika karakter karakter negatif sudah melekat pada usia itu, maka lewat usia itu (14 tahun), maka akan sulit lagi untuk mengubah karakter mereka.

“Mari kita peduli dengan anak-anak kita,” jelas Khasanah.

Khasanah juga menambahkan bahwa belajar bukan hanya semata-mata meningkatkan pemahaman intelektual dan kognitif belaka, tetapi juga menanamkan nilai-nilai dan sikap moral atau karakter.

Dalam usia 14 tahun seorang anak akan mudah menyerap semua informasi dengan cepat. Namun ada yang harus diwaspadai jika anak sudah kecanduan pada teknologi jaman sekarang, yaitu gadget.

Dampak dari kecanduan pada gadget yang harus diwaspadai orangtua atau guru menurut Khasanah adalah anak sudah mulai berani berbohong dengan mencuri waktu untuk bermain gadget.

Anak bisa marah jika ada orang yang melarangnya bermain gadget. Mereka juga juga terkadang menjadi tidak mau bergaul dengan teman-teman sebayanya karena kecanduan gadget ini.

Juga saat mereka asyik-asyiknya main teknologi itu, mereka menjadi kehilangan minat untuk melakukan kegiatan lainnya.

Itulah poin-poin yang harus diwaspadai dari seorang anak yang sudah mulai kecanduan bermain dengan gadget nya.

sumber: kompasiana

Open chat
1
Ada yang bisa saya bantu?
Hello
Seamat datang di dfrcollection.com