Salahkan Memberi Reward kepada Anak?

Anak-anak adalah makhluk paling sulit dipahami. Bagi saya, yang seringkali menganggap mereka baik-baik saja dan tertarik dengan saya. Padahal, tidak juga.

Apalagi, indikator saya tidak jelas dalam menilai. Semisal: anak-anak sering tertawa-saya anggap mereka sedang bahagia, ketika anak-anak sering memanggil nama-saya anggap mereka tertarik. Alhasil, saya sering ketakutan. “Tadi, saya ada salah gak ya ke anak-anak? Tadi, saya ngomong apa ya? Mereka baik-baik aja gak ya?”

Karena ketakutan itu, saya sering menerapkan pemberian reward sebagai permintaan maaf. Yang sering saya haluskan dengan sebutan “apresiasi”. Saya sering memberikan tepuk-tepuk, atau sedikit jajanan. Beberapa hari lalu, saya berdiskusi dengan seorang teman yang berprofesi sebagai guru. Kami membahas mengenai “sebenarnya boleh atau tidak, jika anak-anak diberikan reward?”

Istilah reward sendiri, berasal dari bahasa Inggris yang artinya hadiah, penghargaan atau imbalan. Menurut Djamarah (2008) dalam kajianpustaka.com, terdapat empat jenis reward berdasarkan bentuk reward yang diberikan, yaitu:

Pujian. Pujian merupakan salah satu bentuk reward yang paling mudah dilakukan. Pujian dapat berupa kata-kata, seperti: bagus, baik,bagus sekali, dan sebagainya. Selain pujian berupa kata-kata, pujian dapat juga berupa isyarat atau pertanda, misalnya dengan menunjukkan ibu jari (jempol), dengan menepuk bahu siswa, dengan tepuk tangan, dan sebagainya.

Penghormatan. Reward berupa penghormatan ada dua macam, yang pertama berbentuk semacam penobatan, yaitu anak yang mendapat penghormatan diumumkan dan ditampilkan dihadapan teman sekelas, termasuk satu sekolah atau mungkin dihadapan orang tua murid. Penghormatan kedua berbentuk pemberian kekuasaan untuk melakukan sesuatu, misalnya siswa yang mendapat nilai tertinggi saat mengerjakan soal latihan dipilih sebagai ketua kelompok diskusi.

Hadiah. Hadiah yang dimaksud disini adalah reward yang berbentuk barang. Hadiah yang diberikan dapat berupa alat-alat keperluan sekolah, seperti pensil, penggaris, buku, penghapus, dan sebagainya. Reward berupa hadiah disebut juga reward materil.

Tanda Penghargaan. Reward yang berupa tanda penghargaan disebut juga dengan reward simbolis. Tanda penghargaan tidak dinilai dari segi harga dan kegunaan barang-barang tersebut, melainkan tanda penghargaan yang dinilai dari segi kesan atau nilai kegunaannya.

Dari hal di atas, ternyata reward memiliki banyak jenis. Namun, banyak yang menganggap jika reward hanya identik dengan hadiah (poin 3). Diskusi kami seru mulai dari sini. Kami sepakat, bahwa reward merupakan jurus jitu untuk  mendamaikan keadaan. Ibaratnya, “Siapa sih yang tidak senang jika diberi penghargaan atas apa yang sudah dilakukan?” Apalagi anak-anak. Sebagai SDM, yang berkecimpung dalam dunia pendidikan anak. Kami harus memutar otak dan mengerahkan seluruh energi untuk membuat pembelajaran atau kegiatan dapat disukai anak. Salah satunya, dengan pemberian reward ini.

Tapi, reward juga tidak selalu berujung baik. Kami pernah ditegur akibat tertangkap memberikan reward (coklat kemasan) kepada anak-anak di sebuah lembaga. Kami menghargai kebijakan itu, karena mereka menerangkan bahwa reward tidak dipilih, untuk menghindari anak dari sifat yang manja dan ketergantungan.

Keputusan tidak memberi reward tidak salah. Namun, menurut kami pemberian reward itu juga tidak masalah, selagi tujuannya positif. Seperti yang diutarakan Gibson dkk (1997) dalam kajianpustaka.com. Bahwa tujuan pemberian reward itu ada 3: Menarik (attract), Mempertahankan (retain), dan Memotivasi (motivate). Dalam artian, pemberian reward dengan latar belakang yang jelas itu diperbolehkan.

Contoh Ilustrasi:

Ada 5 anak dalam satu kelas. Mereka merupakan siswa kelas 3 SD. Kami sebagai pengajar memberikan tugas untuk mereka untuk membuat sebuah puisi tema kemerdekaan. 2 dari 5 anak menyelesaikan lebih cepat dan mereka menghasilkan puisi yang baik. Pemilihan katanya, sesuai dengan tema, dan mereka bersedia membacakan puisinya secara apik.

Menurut kami, 2 siswa tersebut berhak mendapat reward. Pertama, kelas 3 SD tapi memiliki kemampuan membuat puisi yang baik. Kedua, mampu mengerjakan dengan cepat dan punya kemauan untuk mencoba menulis. Ketiga, memiliki komunikasi yang baik dengan bersedia membacakan karyanya. Sehingga tujuan: menarik (membuat anak semangat menulis puisi), mempertahankan (membiasakan anak menulis), dan memotivasi (agar anak tidak berhenti menulis) bisa tercapai.

***

Jadi, sebenarnya tidak ada yang salah dalam pemberian reward kepada anak. Asalkan, ada poin dan pengukuran yang jelas kenapa anak tersebut berhak mendapatkannya. Tidak hanya soal akademik. Semisal anak-anak melakukan rutinitas yang baik seperti bangun pagi, merapikan tempat tidurnya sendiri, menjaga kebersihan kamarnya, dan sebagainya. Itupun bisa dijadikan tolak ukur untuk pemberian reward. Yang pasti, jangan jadikan reward sebagai cara untuk meminta maaf kepada anak. Itu kebiasaan jelek saya, dan tidak sepatutnya untuk ditiru.

Sumber:

Renita Yulistiana(kompasiana)

Open chat
1
Ada yang bisa saya bantu?
Hello
Seamat datang di dfrcollection.com