Survei: Stres Anak Meningkat 3 Kali Selama Pandemi. Bagaimana Orang Tua Harus Menyikapi?

Pagi ini saya melihat berita di TV kalau hasil sebuah survei dari Kementerian PPPA ternyata selama pandemi ini stres anak meningkat 3 kali lipat dari biasanya setelah sekitar lima bulan pandemi Covid-19 ini berlangsung.

“Dalam Survei kami, ketika anak belajar di rumah, hanya 32 persen yang didampingi orang tuanya. Dapat dikatakan ketika pada masa biasa saja kasus depresi pada anak itu sekitar 6,1 persen, maka analisis kita adalah stres anak itu jadi tiga kali lipat pada masa pandemi ini,” ungkap Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jatim, Dr. Andriyanto S.H., M.Kes. (27/08/2020)

Kurangnya interaksi sosial, banyaknya pembatasan pergerakan bahkan kurangnya pendampingan dari orangtua terhadap anak mendukung angka stres pada anak ini naik.

Kami melihat gejala ini juga muncul pada anak saya sendiri, dimana anak saya sudah mulai mudah merasa bosan dan jenuh berada di rumah, meski sesekali istri dan saya ajak juga berkeliling sekitar kebun dekat rumah atau sekitar kompleks, atau berkendara bersama berkeliling membeli logistik kebutuhan sehari-hari. Bahkan, kadang-kadang anak saya bercerita bahwa dia merasa bosan dan tidak jarang juga emosinya meluap lebih-lebih dari biasanya.

Ya, memang benar bertemu dan berkumpul secara langsung tidak dapat digantikan secara virtual semasa pandemi ini. Ada emosi, ada ekspresi, ada interaksi yang dibutuhkan anak-anak untuk tumbuh dan berkembang.

Tidak dipungkiri sebagai orang tua kami kadang merasa bingung bagaimana menghadapinya semua literatur dan informasi sudah kami baca dan coba terapkan, sering gagal kadang berhasil. Tetapi kadang solusinya sudah kami biarkan anak kami meluapkan emosinya kadang sampai melempar barang, kalau sudah sampai seperti itu kami coba ingatkan bahwa itu tidak diperbolehkan dan membahayakan.

Kami juga membuat kesepakatan dengan anak kami jika suatu waktu emosinya sedang tidak terkendali sampai menangis kejar dan lempar mainan, kami minta dia menangis di dalam kamarnya belum boleh berkeliling rumah. Kami coba tunggui di depan pintu kamar sambil melihat dia dan menjaganya untuk tidak keluar kamar dan bertindak membahayakan. Jika dia berdiri saya silahkan dia untuk duduk, jika dia duduk maka bisa saya minta berbaring, sering juga kami tawarkan minum dan agar lebih tenang dengan beristighfar dan memberikan sugesti dirinya untuk lebih tenang. Sering juga kami coba bernegosiasi semisal mengajak dia melukis, membuat prakarya atau bermain pasir bersama, agar dia bisa lebih tenang. Tetapi tidak selalu berhasil lebih seperti trial and error.

Untungnya juga anak kami sedari kecil sudah dibiasakan mencoba membaca atau lebih tepatnya mendeskripsikan gambar dan dibacakan cerita oleh kami. Sehingga, sering juga ketika bosan dia berlari ke kamarnya mengambil buku dan melihat isinya dan mencoba menceritakan isinya dengan memori ketika istri dan saya yang membacakan. Lain waktu dia sendiri yang meminta dibacakan buku pilihannya.

Saya pribadi pernah mengikuti pelatihan dan mempraktikan ilmu negosiasi dengan berbagai kompleksitas masalah tapi bernegosiasi dengan anak adalah salah satu negosiasi tersulit yang pernah saya lakukan, mungkin karena frekuensi anak yang sulit disamakan atau juga kesulitan anak untuk mengekspresikan. Kesabaran dan ketelatenan adalah kunci lainnya untuk bernegosiasi dengan anak-anak kita.

Setiap anak memiliki karakter dan kebutuhannya masing-masing, faktor-faktor pendukung lainnya pun sangat beragam dari latar belakang, kondisi psikologis, umur, lingkungan dan lain sebagainya. Penting bagi orangtua untuk bersikap taktis dan memupuk kesabaran dalam menyertai anak kita khususnya dalam masa pandemi ini.

Semoga pandemi ini cepat berakhir agar anak-anak kita bisa kembali bermain, belajar dan bersosialisasi.

Sumber:kompasiana

Open chat
1
Ada yang bisa saya bantu?
Hello
Seamat datang di dfrcollection.com